Selasa, 23 November 2010

Arti Manusia dalam Perspektif Ibn Miskawayh


Sebagian orang berpendapat bahwa kata al-insân (yang berarti manusia) berasal dari kata al-nisyân (yang berarti lupa). Dengan kata lain, manusia dalam hidupnya selalu identik dengan lupa. Apakah demikian? Dalam tulisan sederhana ini akan dikaji pemikiran seorang filsuf Muslim yang bernama Ibn Miskawayh tentang makna filosofis kata al-insân dalam karya monumentalnya, Tahdzîb al-Akhlâq (Menuju Kesempurnaan Akhlak).
Makna Filosofis Kata al-Insân

Ketika orang memahami kata al-insân berasal dari kata al-nisyân, seakan-akan ia memberikan justifikasi bahwa, ketika manusia tidak menepati janji atau mengerjakan hal-hal yang bersifat negatif dengan alasan lupa merupakan kesalahan yang wajar-wajar saja. Memang manusia selalu luput dengan kesalahan, sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi Besar kita Muhammad saw: “Setiap keturunan Adam pasti berbuat kesalahan dan sebaik-baiknya kesalahan adalah pertaubatan.” Bahkan dikatakan pula dalam pepatah: “Manusia (al-insân) adalah tempat salah dan lupa.”

Dalam al-Qur’ân, kata al-insân identik dengan arti manusia yang mampu menggunakan rasionalitas dan akal-budinya. Salah satunya, seperti yang tercatat dalam Surat al-‘Ashr: 1-3: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati kepada kebenaran dan kesabaran.”

Kita sebagai manusia tidak bisa mengingkari bahwa kita mempunyai potensi untuk membuat kesalahan dalam hidup. Tapi, ketika kita membuat kesalahan dalam hidup dengan mengatasnamakan lupa adalah sesuatu yang keliru, karena pada dasarnya kata al-insân bukan berasal dari kata al-nisyân.

Ibn Miskawayh, seorang filsuf Muslim dalam bidang filsafat etika yang masyhur dengan karya manumentalnya, Tahdzîb al-Akhlâq (Menuju Kesempurnaan Akhlak), menjelaskan dengan sangat komprehensif makna filosofis kata al-insân. Ia berpendapat bahwa kata al-insân (yang berarti manusia dalam bahasa Indonesia) berasal dari kata al-uns yang berarti intimacy (keintiman), atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability, dan familiarity. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama lain.

Begitu banyak dari para ilmuwan di dunia yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tapi, yang menarik dari penjelasan Ibn Miskawayh adalah, ia mampu memberikan pemahaman konsep manusia kepada kita dengan pendekatan filosofis melalui perbendaharaan kata
yang ada. Sehingga pada akhirnya, kita termotivasi untuk berbuat baik serta melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita sendiri maupun orang lain.

Islam dengan perantara Nabi Muhammad saw, dalam pandangan Ibn Miskawayh, adalah agama yang mendukung para penganutnya (manusia) untuk bersosialisasi, mengembangkan hubungan keintiman, dan menumbuhkan rasa kekeluargaan antara satu sama lain. Dalam Islam, setiap penganutnya selalu dianjurkan (sunnah) untuk melakukan peribadatan dan kebaikan secara bersama-sama (jamâ‘ah) seperti sholat lima waktu dan lain sebagainya. Sehingga berkat kebersamaan tersebut terjadilah apa yang telah diteladankan oleh Nabi Besar kita, Muhammad saw, yakni silaturahim (shilat al-rahim).
Jadi, kesimpulan adalah bahwa kita (manusia) harus meningkatkan sosialitas, mengembangkan hubungan keintiman, dan menumbuhkan rasa kekeluargaan sesama kita sesuai dengan arti manusia yang sesungguhnya dalam perspektif Ibn miskawayh.

 

 

 

 

apa sih tujuan ALLAH menciptakan manusia?

 

Manusia diciptakan oleh Allah tidak lain adalah hanya demi kemuliaan nama-Nya:
Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!

 

PAHALA

 Ada satu doktrin yg di bawa oleh Rasulullah dalam penyebaran islam. Dan, doktrin tersebut sangat efektif tidak hanya untuk menarik manusia untuk menjadi muslim, Tetapi juga bisa memotifasi umat islam untuk tekun dalam beribadah kepada Allah. Doktrin tersebut adalah doktrin "Pahala".....


Ibarat anak kecil ia akan mau merurut pada perintah orang tua asal ada imbalan yg diberikan kepadanya. Demikian jg kita sebagai umat akan taat menjalan ibadah jika Allah sudah menjanjikan "Pahala" kepada kita pada setiap ibadah yg kita kerjakan.

Tetapi ada satu hal yg sering kita lupakan bahwa kita diciptakan di muka bumi ini adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. semata...
Dan bahwasannya semua ibadah yg diperintahkan Allah kepada umat hanyalah demi kebaikan dirinya sendiri.

Sungguh Allah maha kaya yg tidak membutuhkan apa - apa dari manusia termasuk dari ibadah yg dikerjakan oleh umatNya....

Seperti halnya para orang tua yg tidak berharap mendapatkan balasan dari sang anak atas jerih payahnya dalam mengasuh dan membesarkan sang buah hati. Seperti lirik sebuah lagu kanak - kanak "kasih ibu"....
Maka pantaskah jika kita berharap imbalan atas perintahnya yg sudah menjadi kewajiban untuk kita laksanakan tanpa pamrih apapun ?

Demikian juga dengan kewajiban kita untuk beribadah, masihkah kita mengerjakan ibadah karena iming - iming "pahala" dari Allah SWT"

Memang pengertian pahala masih perlu untuk meningkatkan semangat kita dalam beribadah kepada Allah.

Tetapi sudah saatnya bagi kita untuk menempatkan ibadah diantara kewajiban dan kebutuhan Rohani.

"Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah"

Itulah lafal didalam sholat yg seharusnya bisa kita jadikan sebagai komitmen pada semua yg kita kerjakan termasuk dalam beribadah. Dan selanjutnya komitmen tersebut kita aplikasikan pada setiap aktivitas kita sehari - hari...

Dan, inilah materi utama yang harus di angkat oleh para Kyai, Ustad dan Da'i pada zaman sekarang. Karena umat harus segera di kembalikan pada ranah Tauhid atau meng-E$A-kan Tuhan.

Semoga kita diberi kermampuan untuk lebih ikhlas beribadah kepada Allah SWT.

PAHALA MEMBACA AL QURAN

 

: Kita memang diperintah untuk memperbanyak membaca Al Qur’an dengan memahami isinya, bila belum bisa memahami isinya memang yang diutamakan adalah mempelajari isi dan mendalaminya yang kemudian diamalkan. Kalau kita belum bisa memahami isinya kita masih diperintah untuk memperbanyak membaca walau tanpa tahu isinya. Nabi SAW pernah bersabda : Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka dia mendapatkan satu kebajikan, dan satu kebajikan dilipatkan 10 (sepuluh) kali, saya tidak mengatakan Alif, Lam, Mim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf. Dalam hadits Nabi SAW:Alif,Lam,Mim dihitung sama dengan huruf yang lain padahal kebanyakan ahli Tafsir mengatakan : hanya Allah yang tahu artinya Alif, Lam, Mim. Kesimpulannya walau tidak tahu arti masih mendapat pahala dan jika disertai tahu artinya maka pahalanya akan dilipatkan dari itu sebagaimana tersebut dalam hadits yang lain.  Wassalamu'alaikum  Warohmatulloh

Pahala Yang Selalu Mengalir

·         Kehidupan dunia telah kita yakini dan memang telah terbukti sebagai kehidupan yang sementara. Manusia sebagai salah satu makhluk Allah telah dipastikan akan mati. Sebagai muslim, tidaklah penting kapan dan dimana kita akan mati, yang terpenting adalah apakah kita bisa mencapai kematian dalam keadaan tunduk kepada Allah atau tidak. Seperti kita ketahui, Allah memang menghendaki demikian sebagai mana firman-Nya;
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taaqwa kepadaNya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan berserah diri (muslim)." (QS. Ali Imran ; 102).
Inilah persoalan besar yang harus diperhatikan setiap manusia, tapi sayang sekali banyak manusia yang mengabaikannya.
Dalam konsepsi Islam, mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi justru mati itu merupakan awal kehidupan yang panjang, yaitu kehidupan akhirat dan setiap kita pasti mengiginkan kebahagiaan di akhirat, karenanya di dalam berdo’a tak pernah kita melupakan membaca "Rabbanaa aatina fiddunyaa hasanah wafil aakhirati hasanah, wa qinaa ‘adzaabannaar".
Berdo’a saja tidaklah cukup, kebahagiaan di akhirat juga harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dan untuk memperoleh pahalanya yang banyak berarti harus beramal shaleh yang sebanyak-banyaknya. Meskipun begitu, ada perbuatan yang pahalanya akan terus diraih oleh orang yang beramal, mekipun ia sudah meninggal dunia. Dalam hal ini Rasulullah menunjukkan empat perkara sebagaimana sabdanya yang berbunyi :
"Ada empat perkara yang mengalir pahalanya setelah pelakunya meninggal dunia, yaitu, orang yang meninggal selagi giat-giatnya berjuang di jalan Allah, orang yang mengajarkan ilmunya, senantiasa mengalir pahala baginya, orang yang memberikan sadaqah akan mengalir shadaqah di mana saja shadaqah itu terletak dan orang yang meninggalkan anak yang shaleh dan anak tersebut selalu berdo’a untuk kebahagiaan." (Hr. Ahmad dan Thabrani).
Dari hadis di atas, empat perkara yang dimaksud adalah:
1. Mati syahid
Mati syahid adalah kematian yang dicapai tatkala seseorang tengah berjuang menegakan kalimat Allah. Begitu mulianya mati syahid sehingga seorang mu’min yang sebenar-benarnya, di manapun ia berada selalu mendambakannya. Para syuhada di dalam akhirat mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, mereka pasti meraih syurga yang dijanjikan Allah, sebagaimana firman-Nya yang berbunyi:
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan memberikan syurga untuk mereka, mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh, itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur’an". (QS At-Taubah ayat 111).
Oleh sebab itu setiap kita seharusnya tidak segan-segan berjuang di jalan Allah untuk menegakkan kalimat-Nya. Manakala seorang punya kedudukan, kesempatan dan kemampuan seharusnya dimanfaatkannya untuk itu.
2. Mengajar Ilmu
Ilmu adalah salah satu kunci dan bekal seseorang untuk mencapai kebenaran serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan menuntut ilmu untuk selanjutnya ilmu itu diamalkan demi tegaknya Al Haq (kebenaran). Salah satu cara mengamalkan ilmu adalah dengan mengajarkannya pada orang lain sehingga orang lain dengan memahami dan mengamalkan yang kita peroleh. Nabi SAW bersabda:
"Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkannya" (HR. Muslim).
Ilmu itu hendaklah seperti air, ia selalu mengalir dan membersihkan yang kotor serta menyuburkan tanah yang tandus. Dengan mengajarkan ilmu diharapkan orang yang diajarkannya dapat menghilangkan sifat-sifat yang buruk dan menumbuhkan sifat-sifat yang baik. Oleh sebab itu belajar dan mengajar dalam ajaran Islam mendapat keutamaan sendiri. Tapi bila seseorang tidak memanfaatkan ilmunya untuk kebaikan, maka Allah menyediakan siksa untuknya. Nabi SAW, bersabda;
"Seberat-berat siksaan atas manusia pada hari kiamat adalah orang alim yang tidak mengajarkan ilmunya." (HR Thabrani).
Karena orang yang tidak memanfaatkan ilmunya akan diazab Allah, kita juga jangan berpendapat; "kalau begitu lebih baik saya tidak punya ilmu saja dari pada tidak memanfaatkan". Padahal Allah justru akan mengazab orang-orang yang tidak mau tahu atau tidak mau menuntut ilmu.
3. Bershadaqah
Memperbanyak harta merupakan salah satu kesenangan manusia, Allah memang mempersilahkan manusia untuk mencari harta sebanyak mungkin, tapi dari sekian banyak harta yang didapatkan, sebagai muslim kita berkewajiban mengeluarkan sebagian kecilnya untuk kepentingan Islam serta ummatnya. Kasadaran ini harus terus dipupuk karena pembangunan Islam dan ummatnya tidak lepas dari keterikatan pada dana yang didapat dari kesadaran bershadaqah. Oleh sebab itu setiap muslim diwajibkan untuk mewujudkan kesadaran bershadaqah manakala ingin meraih kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Tapi bila tetap bermegah-megahan dengan harta dan tidak mau menshadaqahkannya, maka azab Allah menanti, sebagaimana firman-Nya:
"Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat dan pencela. Yang mengumpulkan harta dan menhitung-hitung. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak ! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan kedalam huthomah, Dan tahukah kamu apa huthomah itu, (yaitu) api (yang disediakan) Allah, yang dinyalakan. Yang (naik) sampai ke hati." (QS al Humazah: 1 – 7)
Bila shadaqoh telah dikeluarkan, baik dalam bentuk uang maupun barang, maka orang yang mengeluarkannya manakala betul-betul ikhlas akan meraih pahala, sebab uang serta barangnya itu terus berguna bagi kepentingan Islam dan ummatnya.
4. Anak Yang Shaleh
Tiap orang yang menikah, pasti mengiginkan punya anak, dan tiap orang tua yang muslim, pasti ingin agar anaknya menjadi anak yang shaleh. Karena itu pagi siang, sore dan malam kita selalu berdo’a agar Allah menganugerahi keturunan yang shaleh. Namun dalam konsepsi Islam, anak yang shaleh itu bukan sekedar didambakan dan meraihnya hanya dengan do’a. Tapi RasuluLlah pernah menegaskan:
"Didiklah anak-anakmu dan perbagus adab mereka" (HR. Ibnu Majah)
Dengan begitu, orang tua yang ingin anaknya shaleh, seharusnya dialah yang mendidiknya secara langsung. Kalau kemudian ada lembaga pendidikan Islam. guru ngaji dan sebagainya yang ikut serta mendidik sang anak, itu hanyalah pelengkap, maka orang tua tidak boleh merasa kewajibannya mendidik anak telah gugur karena telah menyekolahkan anaknya di sekolah Islam atau memanggil guru ngaji ke rumah. Ini perlu dipertegas mengingat banyak orang tua yang berprinsip demikian.
Persoalan lain dalam hal pendidikan anak adalah, banyak orang tua yang seolah-olah kehabisan cara menghadapi anak-anaknya. Karena itu, perlu kita simak petunjuk Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya "Tarbiyatul Aulad Fil Islam". Beliau menyebutkan lima metode dalam mendidik anak. Pertama, mendidik dengan keteladanan, dalam arti orang tua harus memberikan teladan atau contoh yang baik kepada anak-anaknya, ini berarti, kalau orang tua ingin anaknya menjadi shaleh, orang tuanyalah yang harus lebih dulu shaleh.
Kedua, mendidik anak dengan pembiasaan yang baik, dalam arti orang tua harus menanamkan kebiasaan-kebiasaan baik kepada anak-anaknya, orang tua tidak bisa pakai prinsip, "ah nanti juga kalau sudah besar mereka tahu mana yang baik dan mana yang tidak." Mungkin mereka bisa tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tapi mereka tidak mampu melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang tidak baik manakala tidak dibiasakan sejak kecil, inilah pentingnya membiasakan hal-hal yang baik kepada anak sejak anak itu kecil.
Ketiga, mendidik dengan mengajarkan ilmu pengetahuan dan dialog tentang berbagai persoalan. Dalam hal ini amat penting orang tua mampu menanamkan pengertian kepada anak-anaknya, dan dialog merupakan cara yang paling tepat, apalagi menghadapi anak yang sudah memasuki usia remaja. Namun sayang sekali, karena kesibukan orang tua, justru suasana yang dialogis jarang tercipta pada keluarga-keluarga kita sekarang ini.
Keempat, mendidik dengan memberikan pengawasan dan nasehat. Dalam era sekarang. Pengawasan dari orang tua terhadap anak-anaknya sangat diperlukan, sehingga orang tua tahu perkembangan jiwa atau kepribadian anaknya dari waktu kewaktu. Kalau orang tua tahu perkembangan jiwa anaknya, maka ia tahu nasihat apa yang harus diberikan kepada mereka.
Kelima, mendidik dengan memberikan hukuman, ini dilakukan bila cara-cara yang lemah lembut tidak membuat si anak berubah ke arah yang lebih baik. Namun menghukum anak tidak selalu dalam bentuk hukuman fisik, tapi lakukanlah dengan cara-cara yang sifatnya edukatif (mendidik), misalnya biasanya si anak di beri uang jajan sehari Rp. 500,- tapi karena si anak bagun tidurnya kesiangan dan tidak shalat shubuh, maka uang jajannya dipotong menjadi Rp. 250,- Tiap orang tua tentu lebih tahu, hukuman apa yang lebih tepat untuk anak-anaknya.
Dengan demikian, ternyata untuk meraih kebahagiaan di akhirat bukanlah persoalan sederhana, karena itu diperlukan keseriusan dan kesungguhan menunjukan identitas keislaman kita di manapun kita berada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar